Jubah Anak Kandung Ummat, Kelakuan?

Wahyu Panjaitan
Wasekjend Eksternal PB HMI

– Muhasabah Kongres HMI XXXI Surabaya, Jawa Timur –

Bacaan Lainnya

SUMUTNEWS.CO – Opini | Klaim sebagai anak kandung ummat, itu berat. Sebab, segala langkah dan arah harus mendahulukan kepentingan-kepentingan ummat daripada kepentingan pribadi atau golongan, harus pula berjuang demi untuk kemaslahatan ummat. Pun begitu dengan klaim sebagai anak kandung bangsa, segala perbuatan harus pula didasari pada kepentingan bangsa.

Jubah sebagai anak kandung ummat selalu kita kenakan dalam setiap aktivitas dan gerak langkah kita. Dengan alasan perjuangan ummat, tak jarang kita ‘rampok’ orang-orang melarat, dengan alasan perbaikan bangsa, banyak pula yang kita buat sengsara. Tampaknya memang, terlalu suci jubah itu untuk digunakan orang-orang seperti kita ini. Orang-orang yang kelakuannya nyaris seperti preman, orang-orang yang kelakuannya jauh dari pendidikan etika dan moral. Iya, benar, terlalu suci kawan.

Kelakuan yang membosankan dan menjijikkan juga selalu kita pertontonkan, tak jarang pula kita banggakan. Pertunjukan seolah-olah membela orang-orang yang teraniaya dan terpinggirkan juga tak jarang kita sajikan. Menjijikkan memang. Layaknya sutradara dan pemeran film, kita juga selalu mempertontonkan drama kolosal seperti pasukan sparta yang membela rakyat dan mempertahankan bangsanya.

Sok kritis dan seakan peduli terhadap bangsa dan negara juga tak jarang kita jadikan sebagai ‘dagangan’. Mulai dari demonstrasi, audiensi, seminar-seminar, forum diskusi, kita bahas dan perdebatkan tentang kehidupan berbagsa dan bernegara, namun Kita lupa pondasinya, yaitu adab dan etika. Kita lupa dengan nilai-nilai islam yang diwariskan oleh para pendahulu-pendahulu kita.

Sifat independesi selalu lantang kita teriakkan, selalu menggema disetiap forum-forum training. Secara tertulis, memang benar adanya kita adalah lembaga yang begerak secara independen, berdiri diatas kaki sendiri, dan bertindak atas dasar pikiran sendiri. Kita diajarkan untuk berpihak pada kebenaran. Namun tampaknya, semua itu hanya pemanis dalam konstitusi. Sesungguhnya kita tidak benar-benar independen, tidak berdiri diatas kaki sendiri dan tak bertindak atas dasar pikiran sendiri. Tindakan kita selalu saja dipengaruhi oleh kelompok tertentu dan didikte oleh pihak-pihak tertentu. Kita tak lagi bergerak demi kepentingan orang banyak.

Jubah sebagai anak kandung ummat memang tak pantas untuk kita gunakan. Karena memang, jubah suci yang selalu kita banggakan dan kita ‘dagangkan’ itu memang tak mampu lagi untuk menutup kotornya tubuh kita dari pandangan banyak orang. Daki, keringat, darah, nanah dan panu telah berselimut dibuh kita hingga di wajah kita. Bau busuknya tak mampu kita sembunyikan dari penciuman rakyat Indonesia.

Bila kita refleksi gerakan dan aktivitas kita pada sepuluh tahun terakhir, gagasan apa yang sudah kita berikan untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesi?
Ditengah-tengah kondisi ummat yang berhadap-hadapan seperti saat ini, kontribusi apa yang telah kita berikan agar ummat tidak terpecah belah?

Bila ingin jujur, penulis yakin dan percaya bahwa hampir semua kader di seluruh Indonesia ini akan menjawab “Tidak ada”. Memang benar, tidak ada kontribusi nyata yang kita berikan terhadap kemajuan bangsa dan negara. Hanya ada keributan dan kerusuhan yang kita ciptakan. Hanya ada kegiatan-kegiatan ceremonial yang kita sajikan. Bagaimana tidak, semua itu disebabkan oleh kita sendiri yang seringkali disibukkan dengan konflik dan pertikaian. Kita amnesia dengan tugas kita sebagai anak bangsa. Kita hanyut dalam buaian kebesaran masa lalu kita. Kita tenggelam.

Sapa mesra dan berpelukan dengan penguasa dan kekuasaan juga tidak malu kita pertontonkan, seakan kita bangga dengan kemesraan itu. Harusnya memang, segala tindak tanduk kita diposisikan sebagai kelompok yang berseberangan dengan kekuasaan, bukan malah sebaliknya. Posisi berseberangan itu demi untuk penyeimbang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi untuk merawat nilai-nilai control sosial dan berfungsi sebagai alarm bagi penguasa. Namun, itu semua telah lenyap. Kita sendiri yang melenyapkan.

Kelakuan kita tidak lagi menjadi teladan bagi rakyat dan ummat, kita tidak lagi mampu memberikan cerminan yang baik bagi kehidupan bernegara. Bukankah kita lahir atas dasar kondisi ke-Indonesian dan ke-Islaman?, Apakah didalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan kita tidak lagi mengajarkan adab dan etika?, ataukah memang kita lahir bukan bertujuan untuk perbaikan bangsa dan negara?.

Tidak bermaksud untuk menghakimi, pendapat-pendapat diatas memang terkesan subjektif, saya ingin mengajak pembaca berfikir secara jernih dan adil. Faktanya memang, saat ini kita hanya menimbulkan kekisruhan dan pertikaian. Dengan dalih dinamika dan pendidikan demokrasi, kita seakan menghalalkan terjadinya kekisruhan dan perusakan.

Kekisruhan dan kekacauan yang selalu kita perbuat menunjukkan bahwa kita tak lagi pantas dijadikan sebagai harapan rakyat Indonesia. Bahkan mungkin, kita juga tak lagi layak untuk ada. Sebab kita tidak mampu lagi menerjemahkan keinginan rakyat dan negara. Kita hanya sibuk dengan konflik dan perebutan kekuasaan. Kita minim bahkan tak punya gagasan. Saat ini, keberadaan kita hanya berlindung pada para pendiri dan pak Menteri. Kita angkuh, dan kita sombong.

Komentar

Pos terkait