SUMUTNEWS.CO – Opini| Pascareformasi 1998, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengambil format pemerintahan demokrasi dimana setiap rakyat berhak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan politik, baik di legislatif dan eksekutif. Secara ideal, rakyat adalah tuan atau majikan atas negara, dan wakil rakyat atau pejabat eksekutif merupakan pelayannya. Namun, sudah sampai manakah sistem ini berjalan? Apakah rakyat hari ini sudah menjadi tuan atas sistem demokrasi itu sendiri? Atau apakah rakyat hari ini hanya menjadi komoditas politik yang selalu dijadikan “mainan” oleh legislatif ataupun eksekutif pada setiap pemilihan?
Berangkat dari kredo demokrasi yang seringkali kita dengar, vox populi vox dei yang bermakna “suara rakyat adalah suara Tuhan”, semestinya rakyat memiliki kekuasaan dan kedaulatan tertinggi dalam proses pengambilan keputusan tertinggi untuk negara ini. Suara rakyat seharusnya bukan saja diperlukan ketika proses pengambilan suara untuk memilih legislatif dan eksekutif, tetapi juga untuk menurunkan. Konsep ini menunjukkan bahwa demokrasi kita tak sepenuhnya matang, ibarat telur, demokrasi kita adalah telur setengah matang.
Jika kita memang menganut sistem demokrasi, maka kita harus berbesar hati untuk belajar dari negara “kiblat” demokrasi, yaitu Yunani. Pada tahun 500 SM, Yunani memiliki sebuah konsep politik atau sosial yang bernama Ostrasisme. Ostrasisme diperkenalkan oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Yunani yang juga dianggap sebagai “Bapak Demokrasi Athena” karena melakukan perombakan konstitusi Athena kuno menjadi konstitusi baru yang dijadikan pijakan demokrasi. Ostrasisme sendiri bermakna pengucilan atau pengasingan sosial. Ostrasisme, merupakan proses pengasingan bagi pemimpin atau pejabat politik yang dinilai merugikan, menjadi ancaman terhadap rakyat dan negara atau yang tidak melaksanakan tugasnya sebagai wakil dari rakyat. Ostrasisme juga berfungsi untuk mencegah terbentuknya tirani pada sistem demokrasi. Bahkan lebih dari itu, ostrasisme yang digagas oleh Kleisthenes dipercaya ampuh dalam menjaga stabilitas politik dan menurunkan ketegangan konflik antara mayoritas dan minoritas di dalam sistem demokrasi. Secara terminologi, ostrasisme berasal dari kata ostraka yang berarti pecahan tembikar. Dahulu, proses perhitungan suara pada ostrasisme di Athena menggunakan pecahan tembikar. Rakyat Athena akan menuliskan nama pada pecahan tembikar tersebut dengan menggoreskannya, dikumpulkan kemudian dilakukan perhitungan. . Jika dianalogikan dengan konsep pemilihan pada saat ini, tembikar tersebut memiliki fungsi yang sama dengan kertas suara yang kerap kita coblos setiap pemilihan. Nama pemimpin politik yang memiliki tumpukan tembikar terbanyak, akan dijatuhi hukuman berupa pengasingan di luar Athena selama 10 tahun. Tentunya proses ini memiliki kuorum (jumlah minimum) sebanyak 6.000 suara. Maka, jika jumlah tembikar yang memilih orang tertentu untuk diasingkan mencapai 6.000 buah, maka ia harus meninggalkan kota. Dan jika menolak, maka akan dihukum mati.
Pertanyaannya, apa relevansi ostrasisme di Yunani dahulu dengan sistem demokrasi kita saat ini? Memang, kita tidak perlu meniru konsep tersebut secara mutlak. Namun, iktibar dan hikmah yang dapat diambil dari ostrasisme di Athena adalah, bahwa demokrasi di Yunani pada tahun 500-an Sebelum Masehi jauh lebih matang daripada sistem demokrasi kita yang hidup pada tahun 2020. Rakyat Yunani pada saat itu memiliki mekanisme untuk memilih, dan juga untuk menurunkan. Sementara kita? Kita hanya diminta untuk memilih, namun tidak memiliki kuasa dan wewenang untuk mencopot dan menurunkan orang-orang yang kita pilih. Hal ini yang menjadikan para caleg-caleg atau calon eksekutif akan mendatangi rakyat sebelum pemilihan, namun akan melupakan rakyat segera setelah dilantik. Bayangkan, jika kita memiliki mekanisme semacam ostrasisme ini di pertengahan periode setiap legislatif dan eksekutif, berapa banyak efek domino yang akan terjadi? Salah satunya adalah semua wakil rakyat tidak akan sesuka hati mengkhianati sumpahnya terhadap rakyat selama menjabat, mereka akan mendapatkan pressure tersendiri jika mekanisme itu ada. Selain itu, untuk dapat dipilih lagi pada periode pemilihan berikutnya, mereka akan bekerja secara bersungguh-sungguh agar tidak diturunkan atau dipecat rakyatnya sendiri. Mereka akan berusaha “mencari muka” kepada rakyat bukan hanya pada saat akan pencoblosan, tetapi juga selama menjabat dengan periode waktu lima tahun. Ya, memang kita tak perlu meniru konsep tersebut secara keseluruhan, tak perlu sampai pengasingan, apalagi hukuman mati. Menurunkan atau memecat pemimpin politik yang menyelewengkan amanah dengan mekanisme voting saja sudah cukup untuk membuat mereka menghormati rakyat sebagaimana mestinya, mengembalikan posisi rakyat sebagai “tuan” dari demokrasi.
Apa mungkin? Ah itu merupakan ide yang muluk-muluk, pendapat sebagian orang. Sayangnya, ostrasisme politik adalah ide yang realistis. Beberapa negara sudah menjalankan sistem ini, dengan sebutan recall election. Argentina, sudah melakukannya di tingkat Provinsi sejak tahun 1950-an. Di beberapa negara bagian Amerika juga memiliki mekanisme recall election untuk mencopot senator-senator yang bermasalah atau melakukan abuse of power. Lantas, apakah mustahil untuk membuat mekanisme semacam itu di negeri ini? Percayalah, selama demokrasi kita hanya untuk memilih, namun tidak memiliki mekanisme untuk mencopot, maka slogan demokrasi “oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat,” hanyalah mimpi. Lebih baik diubah menjadi “oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk pejabat.” Kita membutuhkan “Kleisthenes-kleisthenes” lainnya di negeri ini untuk dapat mencanangkan sistem tersebut.
Anggap saja tulisan ini sebagai pengingat, seperti adagium Latin yang berbunyi Praemonitus praemunitus, forewarned is forearmed, diperingatkan lebih dahulu sama dengan dipersenjatai lebih dahulu.
Terakhir, penulis hanya ingin mengatakan,” Hey rakyat, demokrasi kita masih setengah matang!”
Penulis : Dendy Dwi Rizki Gunawan, drg.
Editor:ARI
Komentar