“Kau kerja kan? artinya sama-sama kerja kita. Aku kan belajar juga supaya jangan salah aku. Ini bagian dari belajar kan, Iya jam kerja, kenapa kau tanya itu,” ucap Akhyar dengan nada tinggi saat wartawan menanyakan mengapa dirinya hadir di pengadilan padahal masih jam kerja.
…
SUMUTNEWS.CO – Opini | Bulan Januari lalu, warga Kota Medan disuguhkan dengan aksi marah-marah Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Medan Akhyar Nasution kepada insan pers. Kejadian nyaris baku hantam itu terjadi usai Akhyar Nasution menyaksikan sidang kasus dugaan suap yang melibatkan eks Walikota Medan Tengku Dzulmi Eldin.
Dalam aksi marah-marah Akhyar itu, terlihat seakan dirinya ingin menerkam salah satu wartawan. Terlihat juga beberapa kali orang disekelilingnya menahan dan menghalanginya agar tidak mendekati wartawan yang menjadi sasaran amarahnya.
Sesungguhnya, kejadian tegang urat dan jidat berkerut Akhyar itu tidak akan terjadi bila dirinya paham dan mengerti soal demokrasi dan kebebasan pers. Toh menurut penulis, pertanyaan wartawan saat itu tergolong pertanyaan yang sederhana, hanya soal alasan kehadiran Akhyar dipersidangan saat jam kerja.
Bila saja Akhyar menjawab “Saya ingin belajar makanya saya hadir sebentar”, kemungkinan besar, insiden nyaris pukul dan hantam itu tidak akan terjadi, tekanan darah Akhyar, pun juga tak akan naik saat itu. Semudah itu sebenarnya. Tidak sulit untuk mengucapkan 7 kata itu.
Sederhananya, bila Akhyar mengerti dan paham betul tentang kebebasan pers, marah kepada wartawan tidak mungkin dia lakukan. Dan bila Akhyar paham tentang sinergitas antara pejabat dan pers adalah salah satu faktor pendukung pembangunan daerah, Akhyar pasti tidak akan tunjukkan sikap cerobohnya itu.
Penulis tidak bermaksud ingin menggurui, bila hal ceroboh seperti yang dilakukan oleh Akhyar beberapa bulan lalu terus dilakukan oleh pejabat dan kepala daerah, maka mulai saat ini, buang jauh-jauh semua harapan kita tentang kemajuan Kota Medan ini. Jangan berharap Medan akan maju bila sikap dan tabiat yang dipertontonkan pejabat kita tak patut untuk jadi teladan. Bukan hanya untuk Akhyar, tapi pesan ini untuk kita semua. Pers, domokarasi dan pejabat adalah hal yang tidak dapat dipisahkan bila kita ingin kota seribu lobang ini maju dan menjadi percontohan untuk kota-kota lain. memberikan kebebasan kepada pers merupakan salah satu contoh menjalankan UUD 1945.
Pers, demokrasi dan pejabat itu tiga hal yang saling berikatan kuat. Kualitas demokrasi sebuah kota dapat dilihat dari seberapa besar ruang kebebasan pers yang tersedia. Semakin terjamin kebebasan pers, semakin maju pula kualitas demokrasi suatu kota. Lalu, bila demokrasi baik, maka semakin baik pula kota itu. Sebaliknya, bila suatu kota dan atau pejabat daerahnya kuat terhadap pembungkaman dan pengekangan kebebasan pers, itu petanda makin buruk pula demokrasi dan kota itu.
Pers adalah corong berpendapat, tempat tuntutan massa disebarluaskan. Dengan demikian, membungkam pers, sama halnya dengan menutup saluran berpendapat massa. Menutup saluran berpendapat massa sama halnya menolak kemajuan kota. Semoga Akhyar tidak demikian. Saat Akhyar marah-marah kepada wartawan, mungkin beliau lupa Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Sekedar mengingatkan, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 meyebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat“. Kita dijamin kebebasannya untuk berkumpul, berorganisasi dan berpendapat. Inilah prinsip pokok dari kemanusiaan, berlaku secara universal tanpa dibatasi oleh suku, agama, ras, dan golongan.
Kebebasan berpendapat tentu saja harus disertai dengan kebebasan memperoleh informasi pada saat yang bersamaan. Termasuk untuk menyebarluaskan informasi tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini diamanatkan dalam Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia“.
Pertanyaannya, bila pasal-pasal sesederhana ini tidak mampu dijalankan oleh pejabat Kota Medan, bagaimana mungkin mampu menjalankan pasal-pasal yang jauh lebih berat?
Pers itu kritikus sejati, mereka merupakan mulut, telinga dan mata rakyat. Bila dewasa ini kepercayaan rakyat terhadap pejabat dan wakilnya mulai berkurang, maka tumpuan harapannya untuk menyampaikan aspirasi ada pada tubuh pers. Jangan batasi, beri ruang sebesar-besarnya kepada pers selama masih menjunjug nilai-nilai jurnalistik dan kode etik pers.
Untuk terakhir, bila sikap dan tabiat para pejabat kita masih melakukan praktek pembungkaman dan mengangkangi kebebasan pers, maka, hapus semua keinginan kita tentang harapan kemajuan Kota Medan.
Muhammad Alwi Hasbi Silalahi
Penulis merupakan Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Sumatera Utara
Editor: Why
Komentar