SUMUTNEWS.CO – Jakarta | Kasus prajurit TNI LGBT tengah menjadi perbincangan. Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA), Mayjen TNI (Purn) Burhan Dahlan, mengungkap isu tersebut saat memberikan arahan kepada hakim peradilan militer se-Indonesia pada Senin (12/10).
Ia menyebut isu LGBT melibatkan perwira menengah TNI AD berpangkat Letkol hingga terendah prajurit dua (Prada). Burhan menyatakan, prada yang terlibat LGBT merupakan korban pelatihnya semasa mengikuti pendidikan.
“(Prada) itu korban LGBT di lembaga pendidikan. Pelatihnya punya perilaku menyimpang. Dimanfaatkanlah di kamar-kamar siswa untuk LGBT kepada anak didiknya,” ucap Burhan.
Mengacu pada situs Mahkamah Agung, rupanya, apa yang disampaikan Burhan mengenai Prada yang menjadi korban atasannya pernah terjadi dalam kurun 2017-2019.
Pelakunya merupakan Sertu BP yang menjabat Baton III Kipan B Yonif Raider 100/PS. Korban Sertu BP bukan cuma 1 prajurit, melainkan 4 prajurit dengan pangkat Prada.
Berikut kasus LGBT Sertu BP seperti dalam putusan Pengadilan Militer Tinggi-I Medan yang dimuat di laman MA:
Sertu BP disebut mulai mengalami gangguan kelainan seks ketika istrinya sakit. Istrinya sering menolak hubungan badan dengan alasan capai.
“Karena terdakwa (Sertu BP) tidak sepenuhnya mendapatkan kebutuhan seks dari istrinya, akhirnya pelampiasan seks terdakwa disalurkan kepada anggota Tamtama Remaja di Kompi Latihan yakni Saksi-1, Saksi-2, Saksi-3 dan Saksi-4,” bunyi putusan hakim.
“Saksi-1, Saksi-2, Saksi-3, dan Saksi-4 tidak menyukai perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa akan tetapi dengan terpaksa mau menuruti kemauan terdakwa karena takut disebabkan terdakwa sebagai Pembina Tamtama Remaja Yonif Raider 100/PS dan selalu mengancam apabila para saksi menolak maka terdakwa akan menindak dan memberitahu kepada pembina dan seniornya bahwa para saksi telah melakukan pelanggaran,” lanjut isi putusan.
Perbuatan Sertu BP terhadap saksi 1 terjadi sebanyak 2 kali pada Maret dan Juni 2017 yang bertempat di rumah dinasnya. Kemudian terhadap saksi 2, Sertu BP berbuat cabul sebanyak 3 kali di kamar rumah dinasnya serta di rumah kosong (rumah jabatan perwira). Perbuatannya dilakukan pada 2018.
“Terdakwa melakukan perbuatan asusila berupa pelecehan seksual terhadap Saksi-3 sebanyak 3 (tiga) kali bertempat di rumah dinas terdakwa, di ruangan kosong di lapangan tembak dan di ruangan tempat penyimpanan alat musik,” isi putusan hakim.
Sementara terhadap saksi 4, Sertu BP berbuat cabul sebanyak lebih dari 6 kali di tempat yang berbeda yaitu di Barak Kompi Latihan Tamtama Remaja sebanyak 2 kali, rumah dinasnya sebanyak 2 kali, rumah dinas kosong sebanyak 2 kali.
Aksi cabul Sertu BP terhadap 4 prajurit mayoritas bermodus minta pijat.
“Akibat pelecehan seksual yang dilakukan oleh terdakwa, para saksi merasa takut, merasa malu, tertekan jiwa dan perasaannya karena Saksi-1, Saksi-2, Saksi-3, dan Saksi-4 merasa dirinya adalah lelaki normal bukan homo dan perasaan takut akan dianggap sebagai homo apabila diketahui oleh anggota yang lain,” tulis putusan hakim.
Setelah kasus ini terungkap sekitar Juli 2019, Sertu BP meminta maaf kepada keluarganya dan Komandan Batalyon dan unsur Pimpinan Yonif Raider 100/PS serta rekan-rekan di satuannya terutama terhadap 4 prajurit yang menjadi korban.
Sertu BP mengetahui terdapat surat telegram KSAD Nomor ST/1313/2009 dan ST Panglima TNI Nomor ST/1648/2019 tentang larangan LGBT. Ia menyadari tindakannya salah dan bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan serta dilarang dilakukan di lingkungan TNI dan akan diberikan sanksi yang tegas dan berat bagi prajurit yang melanggar yaitu pemecatan.
Atas perbuatannya tersebut, Sertu BP dinilai bersalah melakukan tindak pidana “Secara terbuka melanggar kesusilaan” sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 281 ke-1 KUHP.
Sertu BP dihukum selama 6 bulan dan 10 hari penjara serta pemecatan dari TNI oleh Pengadilan Militer I-02 Medan pada 16 Maret 2020.
Sertu BP tidak terima kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Militer Tinggi-I Medan. Namun hukuman penjaranya justru ditambah menjadi 10 bulan penjara.
Putusan tersebut diucapkan pada 8 Mei 2020 oleh majelis hakim militer yang terdiri dari Kolonel Chk Parman Nainggolan selaku ketua serta Kolonel Sus Mirtusin dan Kolonel Chk Lumban Radja selaku anggota.
Kasasi sempat diajukan ke Mahkamah Agung. Namun dalam putusan pada 9 September 2020, kasasi itu ditolak.
Sumber : Kumparan
Editor : ZAL
Komentar