Jakarta – Acara perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus tahun ini terasa berbeda. Lomba makan kerupuk hingga panjat pinang tak bisa diadakan akibat pandemi Corona. Namun kita tetap bisa mengenang sejarah munculnya dua lomba 17-an ini.
Bila kita sejenak menengok sejarah politik masa lalu, panjat pinang mulanya adalah sarana hiburan orang Belanda di Batavia. Dulu, pada 1920-an, yang dipasang di puncak untuk diperebutkan adalah bahan makanan dan pakaian.
Mereka yang berlomba-lomba saling menginjak tak lain adalah kalangan pribumi. Yang ikut lomba pun bebas, siapa saja. Saling injak demi mendapatkan hadiah.
“Orang Belanda menjadikannya hiburan,” terang sejarawan Asep Kambali, yang juga pendiri Komunitas Historia, Jumat (15/5/2015).
Asep menegaskan foto saat orang Belanda melihat pribumi berlomba panjat pinang juga terekam jelas di museum Belanda. Atau kalau paling mudah bisa melihat lewat Google.
Anggapan bahwa panjat pinang merupakan warisan kolonial Belanda, dibenarkan oleh sejumlah peneliti sejarah. Dalam buku ‘Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal’ karya Fandy Hutari, disebutkan bahwa sekitar 1930-an panjat pinang merupakan hiburan bagi orang Belanda. Biasanya panjat pinang diadakan bersamaan dengan hajatan besar orang-orang Belanda.
Kendati acara ini dimaksudkan sebagai hiburan orang Belanda, yang ikut serta dalam lomba panjat pinang lazimnya adalah orang pribumi. Orang Belanda hanya menonton sambil tertawa-tawa.
“Perlombaan memanjat pohon pinang pada masa ini hanya diikuti oleh orang-orang pribumi. Sedangkan orang-orang Belanda cuma tertawa-tawa menyaksikan orang pribumi mati-matian memanjat pohon pinang. Panjat pinang biasa juga diadakan oleh keluarga pribumi kaya-raya, antek kolonial,” tulis Fandy dalam bukunya.
Akibat sejarahnya ini, Pemkot Kota Langsa, Aceh, sempat melarang lomba panjat pinang pada perayaan HUT ke-74 Republik Indonesia tahun lalu.
Larangan tersebut tertulis dalam surat Instruksi Wali Kota Langsa bernomor 450/2381/2019 tentang peringatan HUT Ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2019.
Sementara itu, pendapat berbeda disampaikan oleh sejarawan dari Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong. Menurut Anhar, tidak benar jika panjat pinang disebut sebagai warisan Belanda.
“Tidak benar itu. Itu adanya sekitar tahun 1960-an. Itu hampir serentak di kecamatan-kecamatan di Indonesia,” kata Anhar saat dihubungi detikcom, Jumat (16/8/2019).
Dihubungi terpisah, sejarawan LIPI Asvi Warman Adam menjelaskan tak ada yang salah dengan panjat pinang. Walaupun akar sejarahnya dari zaman kolonial Belanda.
“Kalaupun itu sudah ada sejak zaman kolonial, apa salahnya diteruskan sebagai hiburan. Tidak semua warisan kolonialisme itu buruk. Sekolah dan rumah sakit contohnya. Keduanya merupakan warisan Belanda,” ujarnya kepada detikcom, Jumat (16/8/2019).
Lalu bagaimana dengan sejarah lomba makan kerupuk? Sejarah lomba ini terbilang lebih heroik ketimbang sejarah panjat pinang.
Sejarawan dan penulis buku ‘Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia’, Fadly Rahman menuturkan bahwa lomba makan kerupuk dimulai pada masa 1950-an.
Pada masa tersebut, lanjut Fadly, kondisi politik dan keamanan negara sudah mulai kondusif, usai masa perang agresi militer 1945 hingga 1950-an, sehingga rakyat masih harus disibukkan oleh usaha memperjuangkan kemerdekaannya.
Masyarakat tidak sempat merayakan kemerdekaan Indonesia dengan beraneka macam perlombaan dan perayaan meriah. Namun pada 1950-an mulai bermunculan lomba untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.
“Bahkan Bung Karno kala itu mendukung kegiatan-kegiatan hiburan rakyat seperti perlombaan-perlombaan ini,” kata Fadly saat dihubungi, Sabtu (15/8/2020).
Menurut Fadly, lomba makan kerupuk menjadi salah satu lomba pertama yang diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia kala itu. Hal ini karena kerupuk identik sekali sebagai makanan rakyat jelata di masa perang. Lomba ini diniatkan agar rakyat Indonesia selalu ingat pada masa perjuangan yang susah, yang mengharuskan rakyat hanya makan nasi dan kerupuk.
“Jadi dengan makan nasi dan kerupuk, tanpa kecap dan garam pun mereka (rakyat jelata di saat perang) sudah bisa bertahan hidup,” papar Fadly.
Namun, kini lomba-lomba itu kini belum bisa kita ikuti lagi. Karena masa pandemi, pemerintah setempat meminta warga tidak dulu menggelar lomba 17 Agustus.
Misalnya, di Jakarta, pada 13 Agustus 2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta warga Jakarta tidak menggelar kegiatan yang dapat mengumpulkan massa selama pandemi virus Corona (COVID-19) usai kembali memperpanjang PSBB transisi. Hal itu bertujuan mencegah terjadinya penularan virus Corona semakin masif.
Imbauan senada disampaikan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Namun, Ganjar mempersilakan masyarakat menggelar tradisi tirakatan menjelang HUT ke-75 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus. Jika memang ingin memeriahkan kemerdekaan dengan lomba, dia minta dilakukan secara virtual.
Sementara itu, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito memberikan gambaran perlombaan yang bisa digelar memperingati HUT RI ke-75 tetapi harus tetap dilakukan disiplin dengan protokol kesehatan. Dia mencontohkan lomba yang cocok dengan masa pandemi ini seperti lomba senam berjarak.
Kutipan detik.com
Komentar