Ilustrasi

Opini

LONTE

By

November 17, 2020

SUMUTNEWS.CO – Opini | Kita sedang mabok. Negeri kita sedang mabok. Mabok, karena disuguhi aneka dusta yang terbungkus janji politik. Mabok, karena diimingi retorika agamis kaum berjubah.

Kemarin, pesohor NM, disebut lonte oleh salah seorang tokoh umat. Jauh sebelum itu, NM sudah menyebutnya, entah becanda atau serius, sebagai “lonte” dan bukan “mantan lonte.” Agak jarang terjadi pengakuan yang jujur seperti itu di beranda media sosial. Tapi itulah NM, dengan keunikan dan keceplas-ceplosannya.

Dosakah? Tak penting! Surga atau neraka itu soal pribadi. Mungkin dia mengimani Tuhan sebagai sumber kerahiman, hanya menyayangi, tak ada cemburu, apalagi murka. Sepertinya NM mengamini itu. Mungkin juga, seperti Subagio Sastro Wardoyo, NM meyakini dosa itu proses pendewasaan diri.

“Melalui dosa kita bisa dewasa.”

Tapi mengapa harus dosa? Tentu saja ada banyak hal yang membuat orang dewasa, tetapi tidak sedikit orang bertobat setelah terperosok dalam “dosa” kan?

Bukankah Adam dan Hawa, manusia pertama itu, “tahu” bahwa mereka telanjang setelah makan buah terlarang? Dosa membuat mereka tahu apa-apa yang benar dan apa-apa yang salah. Apakah “mengetahui” sama dengan berdosa? Entah! Tapi yang jelas, dalam kisah Perjanjian Lama, tak ada satu pun manusia yang menghakimi dan menghujat mereka, selain Tuhan sendiri, Sang Pemilik Firdaus.

Ketika dimintai keterangan mengenai homoseksual, Paus Fransiskus menyatakan kalimat yang kemudian menjadi mahsyur: “Siapakah saya sehingga berhak menghakimi seorang gay?”

Pemimpin umat Katolik itu sadar, meskipun ia diberi kuasa untuk mengikat dan membebaskan manusia di surga dan dunia, bahwa ia bukan Tuhan. Ia hanyalah manusia biasa yang dapat salah sehingga tak gampang lidah menghakimi sesamanya.

Kita hidup dalam demokrasi. Semua bebas berkata-kata, termasuk menyebut orang lain “lonte.” Mungkin pernyataan itu berangkat dari pengalaman: pernah melihat dengan mata kepala sendiri, mendengar desas-desus, ataupun merasakannya sendiri. Tetapi siapakah kita berhak mencap seseorang sebagai “lonte?”

NM disebut “lonte” entah benar atau tidak, kita tak betul-betul tahu. Kalaupun tahu, siapakah kita sehingga berhak menyebut dia dengan panggilan demikian? Panggilan itu hanya menyebabkan dia dan perempuan-perempuan lain yang mendengarnya sakit hati. Entahlah, yang jelas, si penutur tak merasakan itu karena dia bukan perempuan.

Saya pikir, panggilan itu, hanya akan membuat NM, dan juga perempuan-perempuan yang terkenai, menganggap para laki-laki itu sebagai bangsat. Saya teringat kata-kata Muhidin M. Dahlan, dalam karya “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!” (2005), barangkali mewakili panasnya hati NM dan kaum perempuan yang terkenai:

“Semua lelaki adalah bangsat. Juga semua aturan yang mereka buat dengan membawa-bawa nama Tuhan dan agama. Nantikan kutukanku, Lelaki!”

Wajar mereka mengutuk. Perempuan adalah rahim peradaban. Melaluinya lahir kehidupan, kebudayaan, peradaban. Laki-laki datang dengan dominasi dan hegemoni yang menindas, mengkelasduakan perempuan, dengan dogma-dogma impor.

Anand Krishna, dalam “Surat Al-Fatihah bagi Orang Modern” (1991), menggambarkan kisah peradilan “pelacur” yang berzinah dan diselamatkan. Ia lukiskan dengan bagus bagaimana dominasi dogmatisme itu mencoba menggulung peradaban dengan satu kata: zinah!

Ia menulis begini:

SUATU hari para pemuka agama, para tokoh masyarakat, menjatuhkan hukuman atas seorang wanita yang dianggap berzinah, walaupun wanita itu sebetulnya pelacur. Hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak main-main: rajam atau hukuman mati, dengan cara dilempari batu sampai ia menghembuskan napasnya yang terakhir.

Tidak hanya pemuka agama dan tokoh masyarakat, tetapi anak-anak kecil–mereka yang tidak tahu “dosa” itu apa, “pelacuran” dan “zinah” itu apa–turut ambil bagian dalam aksi pembunuhan seorang wanita yang dianggap “tuna susila” oleh masyarakat yang menganggap dirinya cukup “susila.”

Tubuh wanita itu sudah berlumuran darah, ia menjerit kesakitan. Tiba-tiba dari salah satu sudut jalan muncul sosok seorang pria–kurus, tinggi, berjubah putih. Ia mendekati wanita malang yang sedang dilempari batu itu. Ia mengangkat wanita itu, memeluknya. Mata-Nya merah, bibir-Nya gemetaran, namun suara-Nya berapi-api–bagaikan suara petir di tengah hari:

“Kalian sedang melempari batu–kalian yang ingin membunuh wanita ini–kenapa kalian ingin membunuh dia? Karena ia seorang pelacur? Karena ia melacurkan badannya? Apakah kalian lebih baik dari dia? Kalian telah melacurkan jiwa kalian, roh kalian. Kalian semua munafik. Adakah satu pun di antara kalian yang belum melacurkan jiwanya, rohnya? Kalau ada, biarkan dia yang melemparkan batu pertama. Kalian semua kotor, tidak bersih. Kalian tidak berhak menghukum wanita ini.”

Kata orang, ia yang melindungi wanita malang itu adalah Nabi Isa.

Jika Nabi Isa, sosok yang mas’um, tak menghakimi sang perempuan itu, lantas siapakah kita, yang sejak lahir kotor karena dosa, bercela karena asal, boleh menghakimi orang lain?

Barangkali doa seorang pelacur, yang ia daras di dalam hati, lebih didengar oleh Tuhan, ketimbang kaum berjubah. Jubah dan tongkat sama sekali tak mewakili kesucian.

Sebab, ada tertulis: “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”

Salam Rinto Namang

 

Editor: Why