SUMUTNEWS.CO – Opini | Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) diberikan mandat oleh konstitusi untuk memimpin operasi paling kompleks di masyarakat demokratis untuk penyelenggaraan pemilu maupun pilkada. Pemilu tak sekedar bagaimana warga negara yang memiliki hak pilih menggunakan hak pilihnya di TPS. Prosesnya yang terlihat sederhana tersebut namun sejatinya penuh dengan kerumitan terlebih situasi pandemi covid-19 saat ini.
Kompleksitas pemilu terkait dengan teknis penyelenggaraan, potensi kesalahan dan permasalahan penyelenggaraan pemilu adalah keniscayaan. Kerancuan hukum, inkosistensi penyelenggaraan, jadwal yang mepet, kurangnya anggaran, logistik yang kurang atau tertukar, bahkan malpraktik pemilu maupun sengketa hasil pemilu adalah sebagian risiko bagi penyelenggara pemilu. Hal ini terlihat dari pengalaman kita dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada sebelumnya.
Penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi yang akan dilaksanakan pada 9 desember 2020 mendatang sangat berisiko tinggi bagi penyelenggara, peserta, maupun pemilih. Saat ini telah tercatat sebanyak 60 calon kepala daerah di 270 kabupaten/kota, 22 pegawai KPU RI, 3 Komisioner KPU RI dan puluhan penyelenggara pemilu di daerah positif Covid-19. Dimana Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu telah memilih opsi untuk tetap melanjutkan Pilkada di tengah ccorona virus demi agenda demokrasi bangsa. Dalam penyelenggaraan kali ini diperlukan upaya serius pelembagaan mengelola risiko dalam penyelenggaraan Pilkada.
Sebagaimana dalam sejarah pemilu kita siapa yang menyangka bahwa penyelenggaraan pemilihan umum serentak pada 2019, di mana terdapat sekitar 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia dan sekitar 5.175 petugas jatuh sakit. Pemerintah dan seluruh steakholder harus berkaca dalam catatan merah pemilu bangsa ini agar menjadi pondasi penyelenggaraan selanjutnya. Penulis sangat khawatir jumlah korban yang muncul dapat lebih banyak jika Pilkada dilangsungkan di tengah pandemi saat ini. Bahkan, korban yang berisiko berjatuhan bukan hanya dari petugas KPPS, melainkan juga masyarakat yang mendatangi tempat TPS, bila tidak diminimalisir dengan serius.
Dalam desain kelembagaan KPU misalnya, belum ada Divisi yang bertanggung jawab penuh sebagai manager risiko. Untuk itu penyelenggara pemilu perlu segera mendesain kelembagaan, salah satu divisi yang fokus sebagai manager risiko, baik di tingkat pusat sampai di tingkat regional.
Ketua KPU sebagai manager umum bertanggung jawab atas organisasi dan koordinasi kegiatan. Para anggota selaku manager tentu terlibat dalam identifikasi risiko yang mungkin terjadi dalam corebusiness KPU (penyelenggaraan pemilu). Manajer risiko memiliki tanggung jawab utama untuk mengidentifikasi, memonitor dan menilai risiko dari tahapan yang sedang dan akan berlangsung. Jika menemukan kerentanan atau faktor risiko baik internal maupun eksternal, manager risiko segera memberitahukan kepada manager lainnya sehingga bisa mengambil tindakan segera dan meminimalisir dampak.
Dalam aspek kerentanan eksternal terkait dengan konteks lingkungan dan sosial dalam penyelenggaraan Pilkada, misalnya terkait polarisasi sosial karena pro kontra penyelenggaraan Pilkada saat wabah, tidak sedikit kalangan yang menolak Pilkada dilangsungkan, oligarki kekuasan, juga penggunaan hoax tentang Covid-19 yang berpotensi minimnya partisipasi pemilih di TPS.
Kerentanan internal diantaranya risiko hukum, misalnya banyak regulasi yang belum tersedia, maupun teknis operasional penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi. Selain itu SDM yang belum terlatih menyelenggarakan pemilu di tengah wabah dan potensi perekrutan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang berintegritas sulit ditemukan. Sebagaimana Komisioner KPU RI Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi juga pernah mengungkapkan empat risiko penyelenggaraan pilkada lanjutan di tengah pandemi Covid-19. Empat risiko ini meliputi risiko reputasi, politik, keuangan, dan hukum. Sukses tidaknya penyelenggaraan Pilkada 2020 ini juga akan menyangkut bagaimana reputasi KPU. Tak hanya KPU, tetapi juga penyelenggara pemilu lainnya, yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Banyak hal yang semestinya harus didorong dalam mengantisipasi dan meminimalisir setiap tantangan pemilu, penulis hanya bisa menyampaikan upaya dan langkah-langlah Manajer risiko (konteks swasta) penyelenggaraan Pilkada yang dapat dilakukan terutama untuk mengelola risiko. Pertama identifikasi risiko. Kedua, pengukuran. Ketiga pelaporan, dan keempat pembuatan keputusan, konsultasi dan koordinasi yang efektif untuk menghasilkan tindakan kongkrit. Tujuannya jelas melakukan tindakan segera dan memusatkan semua sumber daya yang dimiliki sehingga operasi bisa berjalan sesuai dengan visi dan misi Penyelenggara pilkada.
Terakhir Penulis mengajak pembaca untuk senantiasa berdoa dan berikhtiar semoga pendemiini cepat berlalu agar agenda demokrasi bangsa ini semakin membaik dari tahun ketahun dan menyambut pilkada 2020 ditengah pandemi dengan penuh semangat demokrasi kebersamaan demi kesejahteraan bersama.
Demokrasi terjaga, Indonesia Jaya.
“Pemilih Berdaulat Negara Kuat”
Muhammad Midun Nasution
Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)
Editor: Why
Komentar