SUMUTNEWS.CO | Setiap kali memasuki 17 agustus 2018, ada semacam ritual yang selalu dilakukan bangsa Indonesia. Hampir semua rakyat, secara sadar atau tidaknya merayakan kemerdekaan. Berbagai macam ritual atas gugurnya pahlawan yang berjuang di medan perang, dirangkai dan dikemas dengan berbagai perhelatan.
Konon, sudah ditanamkan, hal itu semua dirayakan untuk mengenang jasa para pahlawan, yang berjuang mati-matian mengantarkan bangsa ini menuju pintu gerbang kemerdekaan. Sebagaimana bentuk ritual tersebut identik dalam mencerminkan rasa nasionalisme.
Putra putri bangsa hadir memberikan jalan keluar dan semangat untuk menegakkan kemerdekaan, termasuk dalam memberikan andil dalam setiap perjuangan kemerdekaan jiwa manusia, bahkan bangsa-bangsa dari segala penjajahan tersebut. Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah sebuah revolusi, menuju perubahan secara cepat dan berbagai macam cara untuk mencapai kemerdekaan.
Dalam pemikiran Buya Hamka, usaha melepaskan diri sampai berhasil menumbangkan satu kekuasaan yang menindas, dinamakan revolusi. Revolusi sosial adalah perjuangan di dalam negeri mencapai masyarakat yang lebih adil, sedangkan revolusi nasional adalah perjuangan keluar mencapai pengakuan bangsa lain atau berdirinya suatu bangsa.
Sebagai subtansi dalam kemerdekaan bangsa Indonesia melalui pemikiran Tan malaka yang dijuluki “Bapak Republik Indonesia” bahwa kemerdekaan haruslah 100 persen, tak boleh ditawar-tawar. Sebuah negara harus mandiri menguasai kekayaan alamnya dan mengelola negerinya tanpa ada intervensi asing. Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir dari perjuangan atau perjalanan bangsa Indonesia. Kemerdekaan juga harus mengakhiri akar-akar masyarakat dalam ketidakadilan tersebut.
Karl Marx, bapak revolusi kaum buruh mengatakan, jaminan suatu kemerdekaan bangsa adalah pada kemerdekaan jiwa, artinya setiap manusia tidak terbelenggu dalam ketertindasan, pembodohan dan menguasai jiwa manusia.
Oleh : Rahmad Taufik
Kader Himpunan Mahasiswa Islam
Editor: ARI
Komentar