SUMUTNEWS.CO – Opini | Penggemar karya-karya Iwan Fals pasti tidak asing lagi dengan tembang yang berjudul ‘Sumbang’. Lagu berjudul ‘Sumbang’ itu dirilis pada tahun 1983. Lagu itu memang terkesan bahaya pada saat itu, bagaimana tidak, ‘Sumbang’ sarat dengan lirik kritik sosial tajam atau bahkan terlalu tajam. Lagu itu menyoroti tingkah laku para politisi di era Orde Baru saat itu.
Lagu ‘Sumbang’ itu melukiskan dengan sangat baik betapa kejamnya politik dan kekuasaan di masa itu. Saking kejamnya, Bang Iwan pun harus bertanya melalui liriknya ‘…apakah selamanya politik itu kejam, apakah selamanya dia datang untuk menghantam, ataukah memang itu yang sudah digariskan, menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya, maling teriak maling, sembunyi balik dinding, pengecut lari terkencing-kencing, tikam dari belakang, lawan lengah diterjang, lalu sibuk mencari kambing hitam…”
Menurut penulis, jangkau berfikir Iwan Fals memang jauh melampaui usianya kala itu, hal itu terbukti dari apa yang terjadi pada demokrasi dan atau pada politisi Indonesia saat ini. Ternyata lagu ‘Sumbang’ tidak hanya cocok untuk pemerintahan Orde Baru saat itu. Dimasa saat ini, lagu itu juga masih sangat relevan, misalnya saja pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Medan 2020.
Menjelang Pilkada Medan 2020 ini, pertunjukan seperti ‘Maling teriak maling’ sudah mulai dipertontonkan. Dua kubu pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan, Bobby Nasution-Aulia Rachman dan Akhyar Nasution-Salman Alfarisi sudah mulai melakukan aksi-aksi menerjang lawan.
Pada serangan awal, kubu Akhyar-Salman melalui juru bicaranya Jansen Sitindaon mencibir kubu Bobby-Aulia karena melibatkan mantan narapidana korupsi, Abdillah, ke dalam tim pemenangan. Dengan dilibatkannya Abdillah dalam tim pemenangan pasangan Bobby-Aulia, kubu Akhyar-Salman mempertanyakan keseriusan Bobby-Aulia dalam hal pemberantasan korupsi.
Tak mau diteriaki ‘maling’, kubu Bobby-Aulia lakukan serangan balik. melalui jubirnya Sugiat Santoso, kubu Bobby-Aulia menyebut bahwa Akhyar-Salman melibatkan mantan narapidana demo anarkis Provinsi Tapanuli (Protap) Gelmok Samosir dalam tim pemenangan. Pelibatan Galmok Samosir itu dinilai kubu Bobby-Aulia sebagai preseden buruk bagi demokrasi.
Pertunjukkan ‘Maling teriak maling’ memang selalu digelar saat-saat pesta demokrasi, seakaan pertunjukan itu sudah menjadi kewajiban. Mereka tak sadar bahwa teriakan yang ditujukan pada lawan politiknya sesungguhnya mengarah kembali kepada kubu yang dia dukung sendiri.
Menurut penulis, sesungguhnya saling cibir dan hujat hal yang biasa dalam proses merebut kekuasaan, namun jangan sampai melupakan hal yang substansial, yaitu Program. Silahkan para calon saling hujat dan cibir, namun jangan sampai hilang energi hingga tak mampu lagi menyampaikna program. Adu bibir dan gertak hal biasa, apalagi buat anak Medan, itu hal yang sangat biasa. Namun, kebiasaan adu bibir dan ‘tegang urat’ itu juga harus sejalan seiring dengan program-program untuk kemajuan Kota tua ini.
Untuk terakhir, silakan berteriak.
Penulis: Din
Editor: Ari
Komentar