Rizieq Shihab Pulang: Apa Untungnya bagi Elite Politik Indonesia?

SUMUTNEWS.CO – Jakarta | Muhammad Rizieq Shihab kembali ke tanah air setelah bermukim di Arab Saudi sejak 2017. Melihat penyambutan oleh pendukungnya, tampak jelas Rizeq masih punya akar. Penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta mengalami penundaan 3-4 jam karena arus transportasi masuk dan keluar bandara terhalang oleh pendukung Rizieq.

Sulit membantah bahwa Rizieq adalah figur oposisi nomor satu sekarang ini. Fakta bahkan setelah mengasingkan diri (atau diasingkan, tergantung dari perspektif mana anda memandang), dia tetap sangat populer membuktikan kekuatannya.

Rizieq pernah memimpin demonstrasi yang mungkin paling besar yang pernah ada di negeri ini. Itulah Aksi Bela Islam II pada 2 Desember 2016. Sekitar sejuta (sekali lagi, angka ini masih bisa diperdebatkan) memenuhi Jakarta memprotes penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta kala itu, Basuki Tjahaja Purnama.

Rizieq membangun kekuatan politik dari organisasi Front Pembela Islam di mana dia adalah salah satu pendirinya. Pada awalnya dia membesarkan FPI dengan langkah-langkah kontroversial. Di bawah kepemimpinannya, FPI benar-benar menjadi organisasi yang ingin menegakkan nilai-nilai Islam dan menerapkannya dalam kehidupan sosial. FPI menjadi organisasi yang aktif merazia tempat-tempat hiburan malam dengan alasan “memerangi maksiat.”

FPI tampil keras dan tanpa ampun di akar rumput. Organisasi ini semacam vigilante untuk menegakkan syariat Islam kepada masyarakat. Sikap kerasnya itulah yang membawanya kepada kontroversi dan bahkan mengantarkan Rizieq sendiri ke penjara. Dia tercatat dua kali masuk penjara. Pada 2003, Rizieq dihukum 7 bulan penjara karena melakukan razia tempat-tempat hiburan malam. Tahun 2008, dia kembali dihukum satu setengah tahun karena dituduh memerintahkan anggota-anggota FPI untuk membubarkan demonstrasi damai kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan pada 1 Juni. Pembubaran berakhir dengan kekerasan serta pemukulan terhadap aktivis AKKBB.

Bacaan Lainnya

Konsistensi FPI dalam menegakkan syariat, lengkap dengan segala kontroversinya, membuat organisasi ini dan nama Rizieq dikenal secara nasional. FPI juga mendirikan cabang-cabang di seluruh Indonesia. Di samping itu, FPI aktif melakukan pendampingan-pendampingan di kalangan rakyat bawah. FPI juga aktif untuk hadir dalam situasi bencana.

FPI sangat aktif mendampingi masyarakat kecil di kampung-kampung kumuh Jakarta. Ketika kekuatannya semakin membesar, FPI hadir di wilayah-wilayah yang terkena bencana alam, seringkali sebelum pemerintah sempat hadir. Ketika terjadi gempa di Palu pada 2019, misalnya, FPI adalah organisasi pertama yang hadir di tengah-tengah masyarakat dan membantu untuk menguburkan korban meninggal. Sementara pemerintah tidak diketahui di mana keberadaannya.

Aksi Bela Islam II menaikkan postur Rizieq ke tingkat nasional. Dia dianggap mampu membangun koalisi baru umat Islam dengan menarik kelas menengah perkotaan yang semakin konservatif untuk membela Islam dan menjatuhkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Aksi ini menggetarkan jagat politik Indonesia bukan karena keberhasilannya menjatuhkan BTP, tapi karena kemampuannya memobilisasi kekuatan umat Islam Indonesia yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Harga saham politik Rizieq pun meroket. Dia memancing kekhawatiran di kubu Presiden Jokowi. Di lain pihak, dia juga memiliki potensi sekutu paling berharga dari Prabowo yang saat itu berambisi maju kembali dalam pemilihan presiden.

Di tengah puncak kekuatan dan popularitasnya, Rizieq tersandung masalah hukum. Pertama, dia tersangkut masalah penghinaan kepada Pancasila. Kedua yang lebih berat adalah teks percakapan seks (sexting) yang diduga dilakukan oleh dirinya kepada seorang perempuan, bocor ke publik. Sexting tidak saja berat dari segi hukum tapi juga dari segi moral. Rizieq adalah seorang pemimpin yang dikenal ganas menerapkan gerakan anti-maksiat. Namun, kasus sexting justru memperlihatkan dia menjadi pelanggar beratnya. Kasus sexting menggugat reputasi dan menyingkap hipokrisinya.

Kasus inilah yang membuatnya memutuskan untuk mengasingkan diri ke Arab Saudi. Namun, dia tidak melepaskan pengaruh di Indonesia. Dari negeri asing, dia tetap menjalin hubungan pengikut-pengikutnya yang dengan setia mendengarkan ceramah dan khotbahnya lewat media sosial.

Wajah politik Indonesia pasti akan sangat lain jika saja Rizieq tidak mengasingkan diri. Saya sangat bisa memahami bila Prabowo Subianto memilihnya menjadi calon wakil presiden dalam Pilpres 2019. Prabowo membutuhkan seorang populis yang memiliki akar jauh ke bawah. Hanya Rizieq yang sudah terbukti mampu melakukannya.

Sesudah Rizieq pergi, Prabowo mencoba meyakinkan Ustaz Abdul Somad untuk menjadi calon wakil presiden, tapi yang bersangkutan menolak. Abdul Somad mungkin populer sebagai penceramah. Namun, dia tidak punya pengalaman membangun infrastruktur organisasi seperti Rizieq. Prabowo akhirnya beralih ke Sandiaga Uno, seorang dari kalangan elite seperti dirinya. Sandiaga Uno adalah orang asing dalam politik. Dia tidak tahu dunia lain kecuali dunia bisnis.

Kini Rizieq sudah kembali ke Indonesia. Namun, lanskap politik Indonesia juga sudah sangat berubah. Tidak ada lagi pembilahan antara Prabowo dan Jokowi. Politik Indonesia pada hakikatnya adalah politik dari, untuk, dan oleh para elite. Saat ini, persatuan para elite sangat kuat. Mereka bersatu menata kembali Komisi Pemberantasan Korupsi agar selaras dengan kepentingannya. Mereka meloloskan UU Minerba yang sangat pro elite pengusaha. Dan mereka pun membuat Omnibus Law secepat kilat dengan melakukan deliberasi di antara mereka sendiri.

Sementara Rizieq adalah seorang outsider dalam sistem ini. Dia jelas tidak masuk ke dalam kalangan elite. Para elite seperti Prabowo bekerjasama dengan Rizieq dengan kalkulasi untung rugi yang matang.

Akankah Rizieq tetap relevan dalam situasi politik seperti sekarang ini? Agak sulit untuk menjawabnya. Namun, saya punya ilustrasi kecil yang mungkin menawarkan jawaban tentang masa depan apa yang akan dibawa oleh Rizieq ke dalam politik Indonesia.

Dari beberapa grup WhatsApp dan aku-akun Twitter, saya melihat agenda penjemputan Rizieq Shihab. Agenda ini disebarkan oleh kelompok-kelompok relawan yang dulu mendukung pencalonan Prabowo Subianto. Mungkin di masa depan, jika Prabowo tetap memelihara ambisinya untuk mencalonkan diri sebagai presiden (ini adalah kali keempat dia berusaha menjadi presiden), mungkin dia akan kembali memerlukan Rizieq.

Ada juga kemungkinan Rizieq beraliansi dengan kekuatan lain. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, adalah seorang yang karier politiknya berutang kepada Rizieq. Bukan tidak mungkin Rizieq akan beraliansi dengan Anies.

Namun, ada juga hal yang patut diingat. Rizieq adalah figur sangat kontroversial dan memecahbelah (divisive). Di samping memiliki pendukung, dia juga memiliki musuh di hampir setiap tikungan. Menggandeng Rizieq sama artinya membangun koalisi untuk menentang Rizieq. Jika Pemilu 2019 bisa dijadikan patokan ukuran, jelas bahwa koalisi yang mungkin terbangun menentang Rizieq adalah kekuatan yang mayoritas. Rizieq tidak saja sulit diterima kelompok-kelompok minoritas tetapi juga di sebagian kelompok Islam sendiri.

Sekalipun demikian, menurut saya, Rizieq tetaplah oposisi nomor satu. Dia mungkin akan terus menciptakan kegaduhan-kegaduhan. Dia tetap memiliki organisasi yang rapi. Dia juga tetap memberdayakan orang-orang yang mungkin seumur hidupnya tidak pernah berkuasa. Seperti tukang parkir yang setiap hari melayani pengendara mobil, tapi berubah menjadi pemilik otoritas di jalanan ketika berseragam FPI.

Atau bisa saja Rizieq menjadi politisi normal. Dia berdiam diri selama beberapa tahun dan memperkuat organisasinya. Dengan demikian dia menaikkan daya tawarnya di hadapan para elite. Sungguh saya tidak heran bila suatu saat dia menjadi salah satu dari elite. Sama seperti KH Ma’ruf Amin sekarang ini. Siapa yang pernah menyangka dia akan menjadi wakil presiden mendampingi Jokowi?

Dikutip dari tirto.id

Editor: ARI

Komentar

Pos terkait